Hari Kesekian

Hari Kesekian. Semua berlalu begitu cepat. Seperti percakapan kecil, dalam, dan menyenangkan dengan seseorang di commuter line pada satu hari yang acak..

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Dua Sama.

Suara bola basket memantul terdengar jelas oleh telinga sosok yang sedang memandang ke arah lapangan. Setelah menentukan ia akan berkeliling daerah yang masih asing itu, akhirnya menghasilkan dia yang sedang berdiri tak jauh dari lapangan basket.

Tadinya ia hanya akan melihat-lihat fasilitas yang ada dan langsung berlalu pergi.

“Masih banyak yang perlu dibereskan.”

Itu kata Ibu-nya sebelum ia keluar rumah tadi. Iya, dia baru saja berpindah rumah. Komplek baru untuk memulai “new chapter”. Haha. Lembaran baru kata Ayahnya. Padahal pindah karena ingin tinggal di daerah yang lebih mewah saja. Ya benar sih, pikir dia. Setelah berkeliling dia bisa bilang komplek ini jauh lebih mewah dari yang dulu ia tinggal. Berkat promotion Ayah, disini lah sekarang mereka berada.

Jujur dia malas. Toh tetep sama sama tempat tinggal, gak berkekurangan apapun, hanya naik level kenyamanannya aja. Ia sempat berpikir begitu, tetapi apa boleh buat jika Sang Ayah ingin yang lebih lebih untuk keluarga kecil mereka. Ibu pun setuju dan terlihat senang. Ia tidak mau komplain lebih lanjut.

Dan akhirnya disinilah dia, berdiri di luar pagar jaring lapangan basket dalam kompleks baru itu sambil menonton yang sedang bermain di situ. Lama — lama ia melamun.

Cuma 1 orang? Mana seru?” dia bergumam.

Memang benar sih. Basket jika dimainkan satu orang terlihat kesepian. Kurang seru karena tak ada lawan tanding.

“Kalo gitu ayo tanding”

Suara itu menyadarkan dia dari lamunannya. Orang yang tadinya sedang asik — asiknya bermain sendiri itu menatapnya sambil menyeka keringat dengan handuk, bola ia kepit dengan lengan tangan sebelah.

“Hah?”

“Itu pintu masuknya. Gue gak bisa terlalu lama juga sih sebenernya. Bentar lagi harus balik rumah but i think i need one more game.

Dia yang masih dibalik pagar itu hanya berkedip, belum menjawab. Pikirnya, apakah ia mau? Ia sedang tidak memakai sepatu yang cocok, memakai kaos tangan panjang pula, sama sekali tidak siap untuk ajakan semacam ini.

“Gimana?”

Lagi — lagi ia tersadar lagi dari pikirannya. Sebenarnya, ia ingin. Ia suka basket. Ia bahkan salah satu pemain inti di sekolahnya dulu.

Fine.

Masuklah dia ke lapangan itu. Melempar sendal yang tadinya ia pakai supaya tidak menghambat gerakannya dan juga menaikan lengan kaos yang sedang ia pakai. Si pemain yang awalnya sudah di lapangan itu menaruh lagi handuk yang sehabis dipakai dan melempar bola kearah yang baru saja memilih untuk bergabung.

Setelah itu???

Ya mulailah mereka. Masing-masing tidak menyangka ternyata lawannya jago. Satu lebih lincah. Satu skill-nya lebih terasah. Sampai akhirnya terdengar suara alarm bunyi dari sudut lapangan yang terdapat tas kecil dan botol minum.

“Ah, guess that’s it. Sorry, gue udah harus cabut.”

Lawan bicaranya tidak menjawab langsung. Sedang menarik napas setelah permainan mereka tadi sambil menatap kakinya yang tidak beralas. “Gapapa, gue juga harus balik.” Ia berjalan menuju sudut lapangan itu untuk memakai sandalnya kembali.

“Dua sama tadi. Good game.”

You too. Jago banget. Gak liat gue engap gini?”

Keduanya tertawa. Entah mengapa mereka merasa seperti sudah berteman. Seperti sejak lama. Aneh tapi itu lah yang mereka rasakan saat itu. Mungkin memang benar kata orang-orang, cowo bisa lebih gampang berteman lewat olahraga.

“Jadi belakangan ini gue liat mobil pickup bolak balik karena lu yg pindahan kali ya. Eh- sori.. gue Gael.” Terulurlah tangan Yoongi, bermaksud untuk memberi salam. “Welcome to the area, i guess.” Ia lanjut.

Si lawan bicara menatap tangan Yoongi beberapa saat sebelum membalas salah tersebut, juga membantu dia berdiri dari posisi duduknya.

“Thanks… gue Jonathan, Jona for short. Boleh lah kita main bareng lagi?”

You’re on.

Dan itulah awal mereka pertama kali ketemu. Berjanji untuk bermain basket lagi di lapangan yang sama esok esok harinya, tanpa tau mereka ternyata akan bertemu lagi di pada saat MOS SMA.

— WKWKWKWK KOCYAG

Add a comment

Related posts:

The Intro

Wow. As basic as that sounds, that’s how it feels to be sitting here at my desk writing again. This past year has been unpredictable to say the least, but to come here and see my past relationship…

The Last Beatle

They were four born among a line of generations of people who worked to create social moderation, passionate innovation, and movements forward out of ancient rituals and rhythms of life. These…

Back at Kibagabaga

Travelling back to Rwanda with Lifebox for refresher training on the checklist and pulse oximeters, I have to confess that I was looking forwarding to revisiting one place more than any other. Sadly…