Eros and Erosion

Within Ancient Greek literature, there are five surviving novels that interweave similar storylines of romantic plot. In discussing two texts in particular out of the five; Chariton’s Chaereas and…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




joshua

Misha kembali lagi ke gymnasium hari ini. Namun bukan untuk mengantar kotak P3K, melainkan buku absensi milik guru olahraganya. Gedung itu ramai saat Misha masuk ke sana, membuat dirinya merasa sangat tidak nyaman. Namun beruntungnya, salah satu siswa mendekat ke arahnya dan membantunya.

“Buku absen?” tanya orang itu. Misha mengangguk.

Ia mengulurkan tangannya meminta buku tersebut, Misha pun menyerahkannya.

“Disuruh absenin sekalian nggak?” Sekali lagi Misha hanya mengangguk.

“Yaudah bantuin dong, boleh?” pinta siswa tersebut. Misha sejujurnya ingin cepat kembali, namun wajah ramah siswa itu membuatnya enggan. Lelaki itu selalu tersenyum di setiap akhir kalimatnya, dan juga setelah menerima respon dari Misha. Membuat wajahnya terlihat menyenangkan, seperti sesosok lelaki riang yang setiap orang ingin menjadikannya teman.

“Sebut nama namanya, nanti gue yang cek mereka hadir atau gak ya?” Misha mengangguk menurut, bagaimana pun ia sedikit sungkan menolak permintaan kakak tingkatnya tersebut.

Misha membuka buku tersebut, mencari lembar berisikan daftar nama siswa kelas dua belas jurusan keolahragaan. Kemudian mengambil penanya dan mulai membaca daftar nama tersebut.

“Adam,” mata Misha tidak berpaling dari buku di tangannya, terkunci di sana.

“Hadir,” jawab lawan bicaranya setelah matanya beredar mencari sosok temannya yang bernama Adam.

“Andien,”

“Hadir,”

“Bellatrix,”

“Hadir,”

Hingga beberapa siswa selanjutnya, Misha masih memfokuskan matanya pada daftar nama nama tersebut. Memberi tanda titik pada nama siswa yang hadir hari itu.

“Joshua.”

Tidak ada jawaban. Mau tidak mau Misha pun mengangkat kepalanya, mendapati lelaki di hadapannya itu tersenyum ke arahnya. Senyuman cerah dan lebar yang menelan habis matanya, meninggalkan hanya dua buah garis lengkung saja. Butuh beberapa detik hingga akhirnya Misha paham, ia lah Joshua.

“Oh, kakak Joshua. Okay.” ujarnya sambil memberi titik pada kolom nama Joshua.

Joshua terkekeh mendapati respon Misha. “Lanjut.” ujarnya tak lama setelahnya.

Okay… Jonathan?”

“Izin,”

Beberapa nama terakhir Misha sebutkan, proses absensi itu pun berakhir. Misha menutup buku di tangannya dan kembali menyerahkannya pada Joshua. Lelaki itu menerimanya sembari tersenyum lebar dan mengangguk.

“Makasih ya, Misha.” Kening Misha berkerut mendengar namanya disebut. Sejauh ia mengingat, ia belum pernah berkacap dengan siswa di hadapannya itu. Dan ia juga bukan seorang siswa yang mungkin dikenal siswa kakak kelasnya kecuali melalui perkenalan langsung. Namun ia juga tidak berniat untuk terlalu banyak tanya. Nama bukanlah sebuah informasi berbahaya untuk diketahui orang lain, bukan?

Akan tetapi, justru ucapan selanjutnya yang keluar dari mulut Joshua lah yang membuat Misha merasa tidak nyaman.

“Mau tau ramalan hari ini gak?” tanya Joshua. “Nanti kita bakal ketemu lagi.”

Misha menatap heran lelaki tersebut, “apasih, kak… cosplay Dilan?” ejek Misha, namun Joshua justru terkekeh mendengarnya.

“Yaudah gih, balik. Makasih ya sekali lagi.” Joshua pun berbalik dan menjauh setelah Misha mengangguk.

Sebenarnya kalimat yang Joshua ucapkan sebelumnya tidak begitu penting, namun entah mengapa, Misha tidak bisa tidak memikirkannya. Apakah benar mereka akan bertemu lagi nanti?

"Gue udah sampe"

Misha mengirim pesan singkat kepada saudara kembarnya, yang beberapa detik kemudian langsung mendapatkan jawaban berupa rentetan pertanyaan panjang yang Mikha layangkan.

Misha dan kedua orang tuanya sedang berada di sebuah restoran steakhouse mewah malam itu. Sebuah janji pertemuan yang sudah mamanya buat bersama sahabat sejak masa kecilnya — yang kini adalah istri seorang konglomerat, adalah alasan mereka berada di sana. Tujuan utama pertemuan itu adalah untuk memperkenalkan Misha dengan putra kedua mereka, janji yang sudah mereka buat sejak mereka masih muda.

Tidak ada pilihan lain bagi Misha selain menurut. Karena itulah ia kini duduk dengan tenang, tidak berani memprotes ataupun memberontak, demi menyenangkan sang ibu yang saat ini sedang sangat-sangat bersemangat itu.

Ia dan orang tuanya sengaja datang lebih awal, sehingga mereka harus menunggu keluarga lain itu datang. Misha menggunakan waktu menunggu itu untuk bermain ponselnya, memberi kabar pada Mikha yang sejak tadi mengirimnya banyak pesan, menuntut kabar.

30 menit berlalu, namun belum ada tanda-tanda keluarga tersebut akan segera datang. Bosan menunggu, Misha pun memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu. Ia meggoyangkan lengan mamanya yang tengah berbincang dengan papanya.

“Ma, ke kamar mandi dulu ya?” izinnya, sang ibu mengangguk.

“Jangan lama-lama, bentar lagi mereka sampe.” jawabnya. Misha pun beranjak dari tempat duduknya.

Toilet itu sepi, hanya ada 4 bilik di dalamnya dan sebuah wastafel berukuran sedang dengan 2 keran menempel di sana, juga cermin panjang di temboknya. Salah satu bilik kamar mandi tersebut tertutup, tanda bahwa ada seseorang di dalamnya. Misha menuju ke depan wastafel, mencuci tangannya sebentar sembari mengamati pantulan wajahnya di cermin. Ia sempat mengenakan sedikit make up di wajahnya tadi, hanya untuk memberikan rona merah di pipinya dan warna di bibirnya agar tidak pucat. Misha mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke arah cermin agar bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas.

Di tengah kegiatannya bercermin, bilik yang ditempati itu terbuka. Misha tidak memperhatikan orang yang keluar dari sana, namun yang ia tau pasti, orang itu menuju ke wastafel di sebelahnya untuk mencuci tangan. Kedua mata Misha masih terkunci pada wajahnya sendiri yang terpantul di cermin. Hingga,

“Udah cantik, kok.” orang di sebelahnya tersebut bersuara. Membuat Misha mengalihkan pandangannya ke sebelah. Kedua matanya pun membulat. Joshua berdiri di sebelahnya sembari tersenyum lebar ke arahnya.

“Bener kan, kita ketemu lagi.” ujar yang lebih tua sambil terkekeh ringan. Misha merespon dengan tawa canggung.

“Sama siapa ke sini?”

“Keluarga,” jawab Misha singkat. Bukan bermaksud dingin, namun memang ia adalah orang dengan sedikit kata.

Joshua mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Misha tersebut. Kemudian menarik beberapa tisu untuk mengeringkan tangannya.

“Duluan ya, kalo gitu.” ujarnya, dengan senyuman lebar yang tidak pernah ia lewatkan. Misha membalas senyuman itu dan mengangguk.

Sepeninggalan Joshua, ia menghela napasnya panjang. Merasa lega karena dirinya kembali mendapatkan waktu untuk melanjutkan kegiatannya semula. Selesai dengan urusannya, Misha menyempatkan diri untuk mengambil ponselnya dan mengabari Mikha tentang apa yang terjadi sebelum ia berjalan untuk kembali.

Di perjalanannya menuju ke meja tempat keluarganya duduk, pikiran Misha melayang pada kejadian barusan. Mencoba memahami lelaki bernama Joshua tersebut. Tentang bagaimana kebetulan itu terjadi. Mungkinkah lelaki itu tau rencananya pergi ke restoran ini dan melakukan hal yang sama? Ataukah ia hanya menduga-duga tanpa tau bahwa dugaan itu ternyata benar adanya?

Dalam lamunannya, ia tidak menyadari dirinya telah sampai, hingga ketika ia mendengar suara mamanya. “Ini dia anaknya,” ujar suara yang sangat akrab di telinganya tersebut.

Misha pun mengangkat wajahnya, menyadari bahwa keluarga yang mereka tunggu telah tiba. Sahabat mamanya lah yang pertama ia tatap, kemudian lelaki di sebelahnya yang merupakan suami wanita itu. Misha membungkuk sopan di hadapan keduanya, sembari tersenyum lebar. Sepasang suami istri tersebut balas tersenyum. Dari ekspresi wajahnya, mereka nampak puas, seolah senang mendapati sosok Misha di hadapan mereka itu sangat sesuai dengan Misha yang ada pada ekspetasi mereka.

“Misha cantik banget.” puji wanita itu. Misha menunduk sembari tersenyum malu. Ia menempatkan dirinya ke kursi di sebelah mamanya.

“Kenalin, ini anak tante. Ganteng kan dia.” Saat itu barulah Misha tersadar, bahwa ada sosok lain di hadapan keluarganya, seorang lelaki tinggi dengan penampilan rapih, dan senyuman lebar menghiasi wajahnya.

“Namanya Joshua.” Misha terpaku. Senyuman Joshua melebar, hingga menampilkan deretan gigi-giginya dan terdengar kekehan pelan dari belah bibirnya.

Mata lelaki itu, yang menyipit dan menyisakan garis melengkung, menatap ke arah Misha dengan dalam. Seolah lewat mata itu ia berkata,

“I told you, we will meet again.”

Add a comment

Related posts:

Who are you when you fake it?

When I was growing up in the 90s and early 00’s having a computer meant hogging up your mother’s phone line and giving it Napster induced viruses. Then spending about an hour communicating with your…

Toxic Things to Say in a Relationship

Relationships are a beautiful journey of love, companionship, and growth. However, like any journey, it’s not always smooth sailing. In the heat of the moment, we can say things we don’t mean or say…

Day to Day Haiku

I think I am doing quite well on these challenges this month. I haven’t written a haiku in a while, so this challenge was a good excuse to do just that