School Leaders and Data

Becoming a school leader requires a number of accomplishments. You generally need to have been a successful student, a successful teacher, and then demonstrated some leadership competencies along the…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Behind the curtain of moonlight

cw//make-out

Bulan sedang cantik-cantiknya bersinar terang, cahaya yang memantul di perairan pantai membuatnya terlihat begitu rupawan. Lagi-lagi deburan ombak menjadi pengiring kehidupan di pesisir pantai. Malam, bulan, air, ombak, dan bau pantai membuat siapapun rasanya rela tersungkur jatuh untuk menyanjungnya, begitu terasa pas dari lambang romantisme. Seperti laki-laki yang selalu menyempatkan duduk di balkon kamar villa, memandang keindahan, rasanya Allen rela menceburkan diri dalam hanyutnya pikiran. Ntah mengapa akhir-akhir ini begitu banyak kupu-kupu dalam hidupnya, terasa berwarna warni sekaligus membingungkan.

Sudah seminggu ini harinya hanya dihabiskan bersama Brian-suami yang tidak pernah Allen banyangkan, menghabiskan waktu berdua membuatnya jauh lebih menerima keadaan; bahwa sekarang dirinya adalah kepunyaan laki-laki tersebut. Sedikit demi sedikit berharap lama-lama menjadi bukit, Allen terus berpijak di setiap jalur yang ia miliki, mencoba mengerti dan memahami bahwa oh begini ya kehidupan pernikahan yang kurang diinginkan ternyata tidak buruk juga, banyak hal yang ia terima.

Jika dulu selalu berandai-andai ingin tidur tenang, maka sekarang hanya yasudah tidur biasa saja Brian dan semuanya yang ada dalam hidupnya kini seperti harta karun tersembunyi, ntah harus disyukuri atau mengkhawatirkan diri, yang jelas semuanya terasa baik-baik saja. Meskipun belum? ada rasa tapi mereka berdua seakan pasangan serasi diliat dari inti bumi.

Bukan angin malam lagi yang kini menyapu halus kulitnya, bukan gelap malam lagi yang kini memeluk dirinya. Ada daksa lain dibelakang sana, memeluk mesra tubuh kecilnya. Sekali lagi, Allen banyak menerima hal baru dan mencoba biasa-biasa saja. Seminggu menjadi waktu yang lumayan bagi mereka berdua untuk memahami diri masing-masing, ya karena kalau tidak mau melakukan pergerakan mau jadi apa pernikahan mereka berdua? sandiwara tidak buruk-buruk juga kok.

“Disini dingin, ayo masuk" Suaranya menyapa tepat gendang telinga, Allen merinding sendiri.

“Ntar dulu, malam ini lagi indah suasananya" Malah Brian semakin eratkan pelukannya, menghirup aroma pada lehernya. Ini menggelikan, Allen harus tahan-tahan.

“Len" Allen hanya bergumam menganggapinya.

“Saya mau-" Detak jantungnya seolah berhenti bekerja, terkejut dengan lontaran barusan. Allen seperti didorong ke dasar jurang, tau betul apa maksud dari katanya.

Sialnya Brian langsung mengecup sekali leher terbukanya, membuatnya semakin menahan napas. Tak lama suara kekehan terdengar begitu pelan dan dalam “Mau tidur maksudnya, ayo"

Tubuhnya dituntun masuk dalam keadaan yang masih kaku, buntu mencerna semuanya. Ah payah, baru seperti itu sudah kepalang gelisah. Lagian, kenapa segala bentuk tiba-tiba suka sekali menghampiri harinya? mau membuatnya mati muda kah? tolong yang normal-normal saja, ia juga hanya manusia biasa.

Keduanya saling terbaring pada ranjang yang akhir-akhir ini banyak membuat kehangatan lewat pelukan, kaca besar yang menjadi akses balkon tadi sudah ditutup gorden putihnya, memberi kesan transparan dari sinar bulan yang masih asik menyinari lautan, memberi kesan remang dalam kamar villa mereka. Duh, coba saja…

“Kamu cantik berdiri di balkon kaya tadi" Ya Tuhan, boleh tidak serangannya dihentikan sekarang juga? karena bagaimanapun itu sedikit berdampak dalam hatinya.

Allen enggan menjawab ya memang harus menjawab kayak apa?! senantiasa diam dalam pelukan sang suami. Semakin kesini ia semakin menyadari bahwa Brian adalah sosok yang gamblang dan tak tau malu! pria itu akan mengatakan dan melakukan apa saja yang ada dalam pikirannya, tanpa memfilter-nya terlebih dahulu. Dan Allen menyadari jika sedang berduaan seperti ini membuatnya tak banyak bicara, hanya menjadi pihak pendengar, karena Brian sangat bawel luar biasa, ia tidak perlu repot-repot bersuara, maka akan ada Brian yang melontarkan segala kata, ditanggapi dengan gerakan-gerakan refleks dari tubuhnya.

“Len, kalo masih belum siap, boleh nggak saya cuma pengen cium kamu?” Tolong dimana pun bantuan yang masih beroperasi saat ini juga, bawa tubuh Allen yang sudah memerah panas.

“Ian" Cicitnya, hey! kemana Allen yang biasanya banyak kata? kemana jiwa menggebunya? kemana keberaniannya? terseret ombak kah? atau terbawa angin? Cemen sekali, saat ini seperti anak ayam yang berlindung dibalik bulu lebat induknya.

Brian mengelus pucuk rambutnya pelan, mengangguk beberapa kali saat mendengarnya “Gapapa, kan saya nanya. Kalo ngga mau, mending kita tidur sekarang"

Allen memejamkan matanya kesal, bukan begitu maksudnya “Mau banget kah?”

Brian terkekeh sendiri mendengarnya, ya ampun Allen juga baru menyadari, akhir-akhir ini pria yang berstatus sebagai suaminya itu lebih banyak mengeluarkan tawanya.

“Mau, cuma tuh kalo kamu nggak mau, saya gapapa. Nanti aja kalo udah diizinkan sama kamu sendiri"

Haruskah Allen mengalah kali ini saja? haruskah ia memanjakan suaminya? haruskah ia semakin tersiksa? bukannya ia sudah banyak mengorbankan diri ya? harus berpasrah seperti apalagi? lama-lama ia acak-acak juga dunia dan seisinya ini, membingungkan.

Jemarinya saling mengetuk di permukaan kulit lengan Brian, berfikir sekali lagi, sebelum akhirnya menjalar naik pada dagu tajam di depannya. Membelainya sangsi dan terkesan kaku sekali, mata bak jelaga mereka saling pandang satu sama lain, menyelami kerumitan yang sama-sama tidak dimengerti oleh mereka sendiri, yang pasti, dalam dan tenggelam mengarungi keraguan.

Ntah dimulai sejak detik ke berapa, secara perlahan jarak wajah keduanya tidak lagi dapat dihitung dengan meter maupun centimeter, karena yang terjadi hanya pertemuan dua bibir yang saling terdiam dalam keterkejutan, membatu sementara waktu, ini semua terasa baru. Kembali pada kesadaran, Brian berinisiatif lebih dulu menggerakkan pelan bilah bibirnya pada bibir lembab Allen, mengecupi mencoba bagaimana rasanya, lembut dan manis. Seperti ditarik saat dirinya memakan cream buah berry, bolehkah menyematkan kata candu hanya untuk sebuah ciuman dalam seperti ini? karena Brian terus mencoba menggalinya lebih dalam mencari inti, masih sama lembutnya seperti tadi, Allen juga sudah mulai mengikuti permainan sang suami, tangannya mencengkram lengan Brian yang bertengger di kedua pipi, yang jauh lebih mengejutkan lagi, posisi Brian silih berganti, berada diatas tubuhnya tanpa ada tindihan yang berarti, semua beban badan Brian tahan sendiri menggunakan siku lengannya.

Bunyi peraduan bibir terdengar dalam heningnya malam, suasana yang masih remang membuat mereka lupa akan kesadaran, bulan juga seolah mendukung telak kehangatan yang mereka cipta dalam pagutan. Semakin dalam, semakin menghantar pening dalam kepala Allen, ini nikmat.

Enghhh... Lenguhan sesekali terdengar saat keduanya saling berpindah posisi kepala, bukan hanya lumatan, bahkan sejauh ini sudah sampai pada pertarungan indra pengecap, saling membelit satu sama lain, membagi rasa yang mungkin akan selalu diingat dalam setiap kesempatan. Tangan Allen sudah berpindah pada belakang leher Brian, membuat gerakan acak karena bingung harus melakukan apa. Sedangkan salah satu jemari Brian dimainkan pada lekuk pinggangnya, membuat pinggiran piyama yang Allen gunakan terangkat sedikit menampilkan kulit polosnya yang sedang di elus halus oleh jemari Brian.

Allen menjambak pelan ujung rambut Brian saat dirasa dirinya perlu pasokan udara, pagutan lembut nan memabukkan terpaksa terhenti saat itu juga. Brian memandang Allen dengan sayu, namun otaknya seakan kembali mendapat kenormalan, ia usap setiap liur yang tertinggal di bibir maupun kulit Allen, membuatnya kembali dalam kekeringan.

Allen memandangnya dengan kekosongan, Brian mengecup dahinya sekali dan lembut seperti kapas sutera, mengucapkan terimakasih atas pemberiannya malam ini. Menyadari bahwa tatapan yang diberikan pasangannya adalah tanda bahwa mereka cukup sampai disini untuk malam ini, Brian tidak mempermasalahkan sama sekali. Ia bawa kembali tubuhnya untuk menempati posisi yang seharusnya, kembali membawa tubuh Allen dalam pelukan, menjemput malam hangatnya kembali sebelum pagi menyerang.

“Ian, tadi itu memabukkan. Tapi maaf, aku belum bisa kasih jauh dari itu semua-" Suaranya teredam dalam dada bidang Brian “Nanti, lain kali ya? pelan-pelan aja, gausah buru-buru. Sekalian bantu aku buat ngikutin jalan kamu"

Brian terdiam, semakin eratkan pelukannya yang sangat nyaman. Hanya lewat perlakuan tersebut yang dapat ia berikan, karena kata-kata seperti hilang ditelan dalam-dalam. Namun dalam diamnya, ia mencetak jelas ucapan Allen barusan. Akan ia bawa perlahan semuanya menuju angan paling ternyaman.

Add a comment

Related posts:

How to Choose the Best Passport Agent for Your Travel Needs

Traveling abroad can be an exciting experience, but the process of obtaining a passport and navigating immigration laws can be overwhelming. Fortunately, passport agents like Smotpro can help make…

My Brain Is A Bully

But all it takes is one negative comment or one failure for my brain to sneak in and tell me how awful I am. I just started trying to write for a living. I have many compliments and five star…

How I Published My First Book

How a database nerd built a platform, wrote a book, and got published